Anak Keluhkan Tugas dari Guru Terlalu Berat Saat Belajar di Rumah

Ada siswa SMA atau SMK yang ditugasi menulis esai hampir di semua bidang studi, serta juga siswa SMP yang pada hari kedua pembalajaran online sudah mengerjakan 250 soal dari gurunya.

Anak Keluhkan Tugas dari Guru Terlalu Berat Saat Belajar di Rumah
Komisioner KPAI Retno Listyarti.

MONITORDAY.COM - Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menerima banyak laporan terkait pelaksanaan pembelajaran jarak jauh karena mewabahnya virus corona (Covid-19). Diantara banyaknya laporan, lebih banyak didominasi oleh keluhan anak soal tugas yang diberikan terlalu berat.

"Hampir 70 persen pengadu menyampaikan betapa beratnya penugasan-penugasan yang diberikan setiap harinya oleh para guru, dan waktu yang diberikan untuk mengerjakan juga sangat pendek," ujar Komisioner KPAI Retno Listyarti dalam keterangan tertulisnya, Senin (13/4).

Diantara beberapa keluhan, Retno mengungkapkan, bahwa ada siswa SD di Bekasi diminta untuk mengarang lagu tentang corona yang kemudian harus dinyanyikan disertai musik dan harus divideokan.

Selain itu, ada juga siswa SMA atau SMK yang ditugasi menulis esai hampir di semua bidang studi, serta juga siswa SMP yang pada hari kedua pembalajaran online sudah mengerjakan 250 soal dari gurunya.

Kemudian, keluhan lain juga datang karena guru banyak memberikan tugas merangkum buku pelajaran. Menurut Retno, hal ini menjadi masalah mengingat anak-anak paling tidak suka jika diminta untuk merangkum buku cetak.

"Ada siswa SD yang mendapat tugas menyalin 83 halaman buku cetak sebagai bentuk penugasan dari gurunya. Selain itu, siswa SD kelas 4 juga ditugaskan untuk menuliskan bacaan shalat, mulai dari bahasa Indonesianya, Bahasa Latinnya dan Bahasa Arabnya. Padahal semuanya ada di buku cetak," terangnya.

Selain soal tugas yang berat, masalah lain penerapan pembelajaran di rumah adalah keluhan dari keluarga yang kurang mampu. Mereka kewalahan untuk memenuhi pembelian kuota internet untuk melaksanakan belajar secara daring.

"Ada sopir ojek online (ojol) yang memiliki tiga anak, dengan dua di jenjang, SD dan jenjang SMA. Mereka merasa kewalahan dalam membeli kuota internet. Padahal penghasilan sebagai ojol menurun drastis," tutur Retno.

Kemudian ada juga kasus seorang guru di Yogyakarta menceritakan bahwa pembelajaran daring dengan para siswa hanya bisa dilakukan pada minggu pertama belajar di rumah. Setelah itu sudah tidak bisa lagi karena orang tua peserta didik tidak sanggup lagi membeli kuota internet.

Menurut Retno, keluhan-keluhan seperti itu harus menjadi bahan evaluasi bagi pemegang kebijakan agar memperbaiki sistem yang ada. Atau juga dilakukan upaya-upaya agar keluhan seperti diatas tidak terjadi lagi.

"Masalah-masalah yang menjadi pengaduan tersebut sepatutnya dijadikan bahan evaluasi agar ditindaklanjuti dengan kebijakan yang lebih matang dan lebih baik," tandas Retno.