‘Pendidikan Karakter’, Tanggung Jawab Bersama

Pendidikan bukan sepenuhnya tanggung jawab pemerintah, tapi juga tanggung jawab banyak orang.

‘Pendidikan Karakter’, Tanggung Jawab Bersama
ilustrasi foto

Dalam beberapa tahun terakhir, Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan, gencar mengkampanyekan 'Pendidikan karakter'. Pendidikan yang berfokus pada harmonisasi olah rasa, olah pikir, dan olah raga, dengan dukungan serta pelibatan keluarga, masyarakat, dan tentu saja pihak sekolah.

Buku Induk Kebijakan Nasional Pembangunan Karakter Bangsa 2010-2025 menyebut, bahwa tujuan, fungsi dan media pendidikan karakter adalah membentuk bangsa yang tangguh, kompetitif, berakhlak mulia, bermoral, toleran, gotong royong, berjiwa patriotik, berkembang dinamis, berorientasi ilmu pengetahuan dan teknologi yang semuanya dijiwai oleh iman dan takwa kepada Tuhan yang Maha Esa berdasarkan Pancasila.

Sedangkan Fungsi pendidikan karakter adalah; (1) mengembangkan potensi dasar agar berhati baik, berpikiran baik, dan berperilaku baik; (2) memperkuat  dan membangun perilaku bangsa yang multikultur;  (3) meningkatkan peradaban bangsa yang kompetitif dalam pergaulan dunia.

Sayang, fakta mutakhir menunjukkan, masih jauh panggang dari pada api. Beberapa kasus yang ada justru menunjukan kurangnya kesadaran akan pentingnya pendidikan karakter. Contoh kasus bullying antar sesama peserta didik yang marak terjadi di beberapa sekolah. Paling parah, adalah kasus di Madura, seorang siswa SMP melakukan tindak kekerasan kepada  gurunya hingga sang guru meninggal dunia. Hal ini menunjukan belum berdampak signifikannya upaya 'Pendidikan Karakter'.

Ketua Komisi Pendidikan dan Kaderisasi MUI, Sudarnoto Abdul Hakim, mengaku prihatin melihat kasus-kasus yang terjadi akhir-akhir ini. Menurutnya, kasus-kasus tersebut telah menciderai wajah pendidikan di Indonesia.

“Saya pribadi sangat prihatin terhadap begitu banyaknya kasus-kasus yang memang memperihatinkan dan menciderai perjalanan masyarakat kita terutama yang kaitannya dengan Pendidikan,” ujarnya kepada monitorday.com, Sabtu (10/02).

Lebih lanjut menurut Sudarnoto, kasus-kasus ini juga memberikan gambaran tentang pentingnya pendidikan karakter. Pertama, sebagai wadah untuk mengembangkan peradaban ilmu pengetahuan, kebudayaan. Kedua, dan yang utama adalah pembangunan karakter, pembangunan kepribadian yang kokoh.

“Jadi filsafat Pendidikan kita ini memang harus mengandung unsur-usur tadi, yaitu kesadaran, terhadap nilai-nilai luhur yang dapat diambil dari nilai-nilai agama, sekaligus yang diarahkan dalam upaya kita untuk membangun kemaslahatan, membangun kehidupan,” imbuhnya.

Sudarnoto Abdul Hakim, yang merupakan Guru Besar UIN Syahid Jakarta ini, menyingkap pendidikan saat ini mulai mengalami disorientasi. Cara pandang masyarakat dan sistem Pendidikan mengarah pada pragmatisme, serta melupakan aspekterpentingnya, yaitu kepribadian itu sendiri.

Tugas bersama

Sudarnoto juga menyebut, ada peroalan-persoalan yang kompleks, atau faktor-faktor lain di luar Pendidikan yang membuat masyarakat saat ini menjadi masyarakat yang berpikir sangat pendek. Belum lagi adanya informasi melalui media sosial yang membuat keteladanan di berbagai ranah, dan lingkungan mulai melemah.

“Berbagai kasus, seperti korupsi, tindakan kekerasan, kemudian informasi yang secara liberal bisa diakses, belum lagi  tekanan-tekanan ekonomi membuat soal kepribadian menjadi tidak diperhatikan. Kasus-kasus yang tadi itu misalnya murid membunuh gurunya, atau kasus-kasus yang lain, tindakan-tindakan bully, antar sesama murid, pelecehan seksual, rasa hormat kepada guru, kepada orang tua, yang hilang, ini memang betul-betul memprihatinkan.” terangnya.

Jadi, menurut Wakil Ketua Majelis Diktilitbang PP Muhammadiyah ini, harusnya  persoalan pendidikan bisa menyadarkan kita, termasuk pengelola Pendidikan, termasuk orangtua, untuk mawas diri, membangun komitmen bersama untuk meningkatkan kepedulian terhadap kepribadian dan akhlak.

Menurutnya, bisa saja ini menjadi PR dan tanggungjawab Pemerintah saja, sebagai pemangku kebijakan pendidikan. Tapi jangan lupa, soal pendidikan bukan sepenuhnya tanggung jawab pemerintah, tapi juga tanggung jawab banyak orang.

“Pengelola Pendidikan, orangtua, jadi tidak bisa orangtua mentang-mentang sudah bayar, lalu menyerahkan sepenuhnya kepada guru, tidak memberikan kepedulian. Itu tidak bisa juga,” sambungnya.

Di zaman yang sangat liberal, kata Sudarnoto, nilai-nilai keutamaan memang tidak lagi menjadi perhatian serius, sehingga anak-anak ‘zaman now’ terkena penyakit dekadensi.

“Jadi ini tugas pemerintah dan masyarakat juga. Harus Bersama-sama. Gak bisa saya sendirian itu tidak bisa, orangtua sendiri, tidak bisa, sekolah sendiri tidak bisa, pemerintah sendiri tidak bisa, harus bersama-sama,” tegasnya.

Melalui forum-forum di MUI, Sudarnoto seringkali menyampaikan, bahwa peran MUI dalam konteks pendidikan karakter adalah membentengi, mengingatkan, supaya bangsa ini tidak lari kemana-mana.

“Mudah-mudahan ini tidak terlambat, beberapa kasus yang telah terjadi harus ditangani secara serius. Kebiijakan terakhir Kemendikbud soal Pendidikan karakter, itu sudah benar, sudah sangat benar. Tinggal nanti, masing-masing stakeholders, sekolah, masyarakat, harus mulai berbenah,” tutupnya.

 

[Mrf]