Tanah Abang, Antara Janji Politik dan Kehendak Rakyat
.

MONDAYREVIEW.COM – Entah sudah berapa kali Tanah Abang ditata dan didisain sedemikian rupa. Sejak zaman Belanda hingga saat ini, tak terhitung pula berapa penguasa yang mengumbar janji lantaran kepincut dengan potensi kawasan niaga terbesar se-Asia Tenggara ini.
Adalah Yustinus Vinck, Tuan Tanah Belanda pada abad 17, yang tercatat pertama kali membangun kawasan yang sebelumnya merupakan tanah berbukit, dan menjadi basis pertahanan pasukan Mataram ketika menyerbu Batavia pada tahun 1628.
Konon merekalah yang pertama kali menyebut kawasan tersebut dengan sebutan Tanah Abang. Menurut Zaenuddin HM, dalam bukunya berjudul “212 Asal-Usul Djakarta Tempo Doeloe,” menyebut hingga akhir abad ke-19 kawasan itu bernama Nabang. Dalam penulisan formal zaman Hindia Belanda, diberi partikel “De” sehingga menjadi De Nabang. Nabang sendiri adalah jenis pohon yang tumbuh di atas bukit di kawasan tersebut.
Sejarah panjang Tanah Abang, rupanya bukan malah membuat kawasan ini menjadi tertata dengan baik. Sebaliknya malah semrawut, macet, dan rawan kriminalitas. Padahal, dengan besarny potensi omset yang dapat dihasilkan, kawasan ini semestinya memiliki penataan yang baik.
Terlepas dari apakah penataan yang saat ini sedang dilakukan sudah tepat atau tidak, yang jelas ada beberapa persoalan yang nyata-nyata menjadi cukup krusial bagi warga kebanyakan.
Berawal dari ditertibkannya Jalan Jati Raya, kini jalan tersebut menjadi ramai oleh pedagang kaki lima. Para pejalan kaki lalu lalang diantara hiruk-pikuk perniagaan, saling tawar antara penjual dan pembeli. Trotoar di sampinya juga tidak kalah ramai dengan para pedagang yang curi-curi kesempatan sambil terus waspada terhadap kedatangan petugas keamanan, maupun Satpol PP.
Sementara di seberangnya, tepat di samping Stasiun Tanah Abang, puluhan angkot berderet, bergantian menunggu giliran naiknya penumpang. Angkot saat ini tidak diperkenankan melewati Jalan Jati Baru Raya. ‘Terpaksa’ mereka harus putar balik dan ngetem di samping stasiun.
Kebijakan Pemprov DKI dirasa merugikan bagi para pengemudi angkot. Seperti Endro, salah seorang supir angkot jurusan Tanah Abang –Kota, yang juga merasakan dampak dari kebijakan ini.
“Ya pendapatan kurang sih sebenarnya kalau ditutup itu. Pokoknya kuranglah pendapatannya. Ya kan sebenarnya yang banyak itu di atas,” kata Endro kepada mondayreview, sambil menunggu penumpang di sisi lain Stasiun Tanah Abang.
Bagi Endro, apa yang telah dilakukan Pemerintah Provinsi DKI dengan menutup jalan tersebut sebetulnya malah membuat mobil semakin banyak, semakin rapat dan tidak ada celah.
Sopir angkot lainnya, Tejo Sunaryo, juga mengeluhkan hal yang sama. Bahwa sejak ditutupnya jalan Jatibaru Raya Tanah Abang, pendapatannya kian berkutang. “Kalau saya pribadi yah merasa dirugikan, dari segi penghasilan kita, dari segi jalan kita, sistem ngetemnya juga susah buat cari penumpangnya,” ungkap Tejo.
Tapi karena itu sudah menjadi peraturan, maka bagi sopir angkutan umum seperti Tejo yang bisa dilakukan hanya pasrah saja. “Ya semuanya yang namanya udah peraturan perdanya pemerintah, jadi tidak bisa membantah,” tambahnya.
Para supir angkot telah melakukan demonstrasi sebanyak tiga kali menuntut agar dibukanya kembali Jalan Jatibaru. Hasilnya, Wakil Gubernur DKI berkenan menemui perwakilan Sopir Angkot.
Pertemuan tersebut menghasilkan kesepakatan, bahwa angkot boleh melintas di kawasan tersebut pukul 15.00-08.00. Selain itu, disepakati pula Transjakarta Tanah Abang Explorer kembali beroperasi. Namun, angkot hanya diperbolehkan melintas di satu ruas jalan, yakni di depan Stasiun Tanah Abang. Pasalnya, satu ruas lagi akan tetap digunakan PKL berjualan.
Kesepakatan tersebut bagi sopir angkot seperti Tejo tidak memberi pengaruh signifikan.
“Ya bagini, hasilnya belum ada. Kebijakannya hanya kemarin, baru kemarin saya dengar, jadi mobil explorer itu cuma setengah hari, jam tiga dia udah pulang. Biasanya kan jam enam,” tukasnya.
Karena itulah, sebagai supir angkot Tejo berharap agar meskipun jalan tersebut tetap ditutup, agar bisa diberikan alternatif agar supir angkot tetap mendapat haknya seperti semula. “Saya mohon aja kepada gubernur yang sekarang, mintalah kebijaksanaanya untuk supir-supir,” pintanya.
Pejalan Kaki Keluhkan Semakin Sempitnya Jalan
Lain supir angkot, lain juga pejalan kaki. Disediakannya tempat kembali bagi pedagang kaki lima (PKL) oleh Pemprov. DKI untuk berniaga di sekitar Jalan Jatibaru Raya, membuat jalan tersebut kian padat. Para pejalan kaki pun mulai kesulitan untuk berjalan di sepanjang jalan tersebut.
“Wah kacau, habis semuanya tidak teratur kan. Trotoar untuk jalan kan, tapi untuk jualan. Itu tengah jalannya ditutup, itu kan untuk jalan mobil,”keluh Yusfiansah, salah seorang pejalan kaki di Tanah Abang.
Yusfiansyah juga menambahkan bahwa sejak adanya kebijakan tersebut membuat jalan semakin sempit, semakin ramai, dan tidak kondusif. Baginya, saat ini melihat PKL di jalanan itu mungkin terlihat lebih rapih, tapi tidak nyaman dipakai untuk jalan, ditambah lagi faktor keamanan yang lebih menghawatirkan jika kondisinya demikian.
Pejalan kaki yang lain, Fais juga mengeluhkan hal yang kurang lebih sama. Menurutnya, kebijakan tersebut membuat susah pejalan kaki. “Kayaknya lebih padet aja dari yang kemaren-kamaren. Susah sih kalau kita mau jalan juga, mau ngapa-ngapai juga kaya gini lebih macet,” keluhnya.
Bagi Fais, pejalan kaki juga punya hak agar bisa berjalan dengan nyaman. Menurutnya di Jakarta belum ada fasilitas yang nyaman untuk pejalan kaki.
Karena inilah Fais berharap agar Pemprov. DKI memberikan alternatif, jika memang sedang menunggu pembangunan transportasi umum yang memadai harus juga bisa memberikan solusi agar memberikan kenyamanan bagi pejalan kaki.
“Harapannya lebih bagus aja lah nata-nata kotanya. Agar bisa lebih ngurangin macet. Harus lebih dipentingin aja buat pejalan kakinya, supaya nyaman aja bagi pejalan kaki,” harapnya.
[Afs]