Resep Anti Nyinyir Buat Pemula

Perlu kedewasaan emosional agar kita tak selalu merasa benar

Resep Anti Nyinyir Buat Pemula
(c) TED

 

LAKBAN- Beberapa tahun terakhir ini, masyarakat kita semakin terbelah. Sejak pilpres dan pilkada DKI yang menyita banyak perhatian publik dan mengguncang sendi-sendi kebersamaan dalam masyarakat. Salah siapa atau siapa yang memulai? Masing-masing fihak tentu tak mau dipersalahkan.

Pihak yang satu menghakimi pihak yang lain, demikian juga sebaliknya. Data hoax dan valid kadang beradu. Tak jarang pula bercampur dalam satu adonan opini pencitraan atau penghujatan. Gosip dan fakta pun berseliweran. Perang argumen sampai debat kusir terjadi dimana-mana. Terlebih di media sosial yang menampung semua gagasan hampir tanpa filter dan sensor. Siapapun bisa mengungkapkan pendapatnya di ruang publik yang makin bebas seakan tanpa batas.

Kebenaran seolah makin absurd. Makin tidak jelas karena dari data dan fakta yang sama pun dibingkai menjadi kesimpulan yang berbeda. Tafsir lebih dominan daripada esensi sebuah peristiwa. Sebuah fakta yang multi interpretasi dengan mudah digiring menjadi ‘fakta keras’. Bukan tidak mungkin hati kita yang telah mengeras. Sulit menerima pendapat orang lain karena keberfihakan sudah menenggelamkan kejernihan berfikir.

Ketika kita sudah berfihak, maka sulit bagi kita untuk berfikir jernih. Tanpa sadar kita sudah terjebak. Kalau tidak berfihak kita takut dianggap plin-plan dan tak punya sikap. Padahal sikap imparsial, dalam banyak hal diperlukan. Ambil contoh ketika kita menjadi suporter. Apapun tindakan wasit atau juri yang merugikan tim yang kita dukung pasti akan kita cari logika pembenarannya. Dan celah itu pasti ada.

Pada batas tertentu, alasan pembenaran itu bisa dimengerti. Apalagi dalam konteks olahraga yang dilandasi oleh sportivitas. Dengarlah kutipan media atas pernyataan Luca Modric sesaat setelah Kroasia ditumbangkan Perancis di ajang Piala Dunia 2018. “Perancis diuntungkan oleh gol janggal”, kata Kapten Tim Kesebelasan yang menjadi kuda hitam di ajang paling bergengsi itu. Pendukung Kroasia tentu akan memperoleh segudang alasan, data, fakta, dan analisis yang mendukung pernyataan itu.

Yang penting kegusaran itu tak berlanjut. Kroasia tetap berdiri dengan kepala tegak. Publik negara yang hanya berpenduduk 4,5 juta jiwa itu tetap bangga pada perjuangan dan hasil yang diraih tim yang memiliki semangat dan kekompakan luar biasa itu.  Perancis pun punya hak untuk merayakan kemenangannya. Kemenangan sejati justru pada tegaknya nilai-nilai sportivitas dan fair play. Semua bergembira atas munculnya talenta-talenta muda.     

Kembali ke soal mau menang sendiri. Tak mau kalah dan melihat apapun yang berasal dari ‘kubu sebelah’ pasti salah. Dalam konteks kehidupan demokrasi Indonesia sekarang ini, takarannya sudah mengkhawatirkan. Perang kata dan saling intimidasi terjadi hampir setiap hari. Fakta dan pernyataan dipelintir sedemikian rupa. Hasilnya? Melukai sesama anak bangsa bahkan meracuni benaknya sendiri dengan nyinyiran dan caci-maki.   

Apakah semua ini permainan logika dan kata-kata? Kedewasaan psikologis lah yang menjadi jawabannya. Kalau emosi sudah mengangkangi akal sehat, maka seorang guru besar pun bisa kehilangan ketajaman intelektualitasnya. Apalagi mereka yang hanya ikut-ikutan alias jadi ‘tim hore’. Maka, emosi harus dikendalikan. Sikap rendah hati harus dikedepankan. Sungguh kita sedang berperang melawan diri sendiri.