Jakarta Terbakar, Sang Panglima Mundur

MONITORDAY.COM - Peralihan kekuasaan tidak menjamin kondisi menjadi lebih baik atau sebaliknya. Pemerintahan Soeharto masih belum sepenuhnya stabil di awal dekade tujuh puluhan. Korupsi dan dominasi modal asing menjadi salah satu alasan protes dari kalangan mahasiswa. Unjuk rasa yang dikenal sebagai Peristiwa Malapetaka 15 Januari 1974 membuat Jakarta terbakar.
Penanggung jawab keamanan saat itu adalah seorang Jenderal profesional lulusan pendidikan militer AS dan Jerman. Nama lengkapnya Soemitro Sastrodihardjo. Pangkat terakhir Jenderal TNI dengan jabatan Wakil Panglima ABRI dan Panglima Kopkamtib. Kekuasaan di tangannya sangat besar dan dijuluki sebagai "orang nomor dua" yang bertanggung jawab atas Indonesia setelah Soeharto.
Saat diberi wewenang Panglima Kopkamtib Soemitro berusaha memperkuat posisinya dengan mencoba mengangkat Wakil Komandan Kopkamtib yang dipilihnya. Tapi Soeharto melihat maksud Soemitro dan menunjuk Laksamana Sudomo, rekan dekatnya, sebagai Wakil Komandan Kopkamtib.
Persaingan berkembang di kalangan elit politik. Di satu sisi adalah Soemitro, yang ingin memotong keterlibatan militer dalam politik dan menguranginya menjadi peran profesional murni. Di sisi lain adalah Ali Moertopo, yang menginginkan militer tetap terlibat dalam politik dan salah satu dari Aspri tersebut di atas.
Menjelang akhir 1973, Soemitro mulai berjarak dengan istana. Dia tidak mengambil tindakan terhadap kritik dan perbedaan pendapat yang ditujukan pada rezim meskipun itu merupakan wewenangnya. Soemitro mulai mengadakan pembicaraan di kampus-kampus universitas dan menyerukan kepemimpinan baru.
Soemitro juga mendorong lebih banyak kritik terhadap Aspri. Kekuatan Soemitro yang terus berkembang terlihat pada akhir tahun 1973 ketika dia melakukan intervensi untuk membantu mengesahkan undang-undang perkawinan. Pada kesempatan ini, ia berhasil memfasilitasi kompromi antara Pemerintah dan organisasi Muslim yang memandang undang-undang tersebut terlalu sekuler.
Hingga akhir 1973, Soeharto tidak mampu menengahi perseteruan antara Soemitro dengan Ali Moertopo. Kritik Soemitro semakin terbuka. Bahkan Jenderal tambun ini semakin erat dengan Jenderal AH Nasution dan Sarwo Edhie.
Pada 14 Januari 1974, Perdana Menteri Jepang Kakuei Tanaka tiba di Jakarta untuk berkunjung. Kunjungan Tanaka memberikan kesempatan ideal bagi mereka yang kritis terhadap besarnya investasi asing dalam perekonomian Indonesia untuk memprotes dan mengungkapkan ketidakpuasan mereka.
Namun pada tanggal 15 dan 16 Januari, protes berubah menjadi kekerasan dan insiden Malari meletus di Jakarta yang menyebabkan 11 orang tewas, 300 luka-luka, dan 775 ditangkap.
Setelah Tanaka pergi, Soemitro mengambil tindakan dan memburu senat mahasiswa Universitas Indonesia (UI). Tindakannya terbukti terlambat karena dia telah didiskreditkan, dipandang sebagai seseorang yang membiarkan protes lepas kendali.
Tak lama setelah Peristiwa Malari, Soemitro mengundurkan diri dari Komando Kopkamtib dan dilanjutkan dua bulan kemudian dengan pengunduran dirinya sebagai Wakil Panglima ABRI.
Soemitro menolak jabatan hiburan sebagai Duta Besar RI untuk AS; dan lebih memilih untuk pensiun dari kehidupan militer.