Belajar Memilih Pemimpin dari Muhammadiyah

MONITORDAY.COM - Aktivis Hatta Taliwang punya ulasan menarik dalam rangka peringatan Milad Muhammadiyah ke-108 yang acara puncaknya diselenggarakan secara virtual pada siang ini, Rabu (18/11/2020).
Ketua Umum Ikatan Alumni Universitas Muhammadiyah Jakarta periode 2000-2005 itu mengulas sistem pemilihan pemimpin di Muhammadiyah. Menurutnya, sistem pemilihan yang berlaku di Muhammadiyah mencerminkan sistem perwakilan/musyawarah mufakat yang diamanatkan UUD 45 Asli.
Lebih dari itu, Hatta mengajak untuk belajar memilih pemimpin dari Muhammadiyah. Sehingga berbagai kemudharatan yang timbul setelah kontestasi politik lima tahunan bisa dihilangkan, atau paling tidak bisa dikurangi.
Berikut tulisan Hatta Taliwang dalam rangka peringatan Milad Muhammadiyah ke-108:
Belajar Sistem Perwakilan dan Musyawarah dari Muhammadiyah dalam Memilih Pemimpin
Banyak orang mengeritik sistem pemilihan Presiden dengan sistem perwakilan/musyawarah mufakat ala UUD 45 Asli dengan mengatakan kurang demokratis dan lain-lain, sehingga mengubahnya dengan sistem Pilpres langsung.
Lucunya yang mengeritik itu orang dari partai atau ormas yang berpuluh-puluh tahun telah mempraktekkan sistem perwakilan/musyawarah mufakat.
Coba lihat partai mana yang mengajak seluruh pemegang kartu anggotanya datang ke bilik suara memilih Ketumnya? Ormas mana yang mengajak semua pemegang kartu anggotanya datang ke tempat pemungutan suara? Kecuali ormas atau partai tingkat desa mungkin.
Sekarang pemilihan kepala daerah dilakukan secara langsung. Katanya demi tegaknya demokrasi.
Kemarin kami sudah analisis bahwa Pilkada yang diikuti lebih dari dua calon kemungkinan besar legitimasinya rendah. Karena pemenangnya paling banter didukung 20-30 an persen penduduk atau pemilih. Hasilnya, terpilih pemimpin yang wallahu a'lam akan lebih baik atau malah kurang bermutu.
Belum biaya besar yang dikeluarkan, kegaduhan dan mungkin kekacauan yang ditimbulkan, rusaknya hubungan persaudaraan dan kekeluargaan dan lain-lain dampaknya.
Sehingga kami usulkan kembali ke sistem perwakilan/musyawarah mufakat aja. Toh hasil pilkada langsung hanya prosedurnya yang legal tapi hasilnya kadang tidak legitimate juga. Memimpin sebuah daerah hanya didukung seperempat penduduk atau pemilih misalnya? Kan mengharukan.
Argumennya bahwa Pilpres langsung menghasilkan demokrasi yang bagus bisa dipertanyakan. Misalnya dari Pilpres yang lalu (2014):
Jumlah pemilih lebih kurang 195 juta. Pemilih Jokowi lebih kurang 70 juta. Pemilih Prabowo lebih kurang 62 juta. Golput, suara rusak lebih kurang 60an juta.
Maka yang murni pilih Jokowi = 70/195x100 persen = lebih kurang 37 persen.
Katanya demokrasi itu 50+1. Padahal itu cuma diikuti dua capres. Kalau diikuti lebih dari dua capres tentu lebih kecil lagi prosentase dukungan terhadap capres terpilih.
Inilah yang kami sebut hasil pilpres legal tapi tidak legitimatif. Apakah ini demokratis? Apakah ini lebih bagus dari sistem perwakilan, musyawarah mufakat, dalam hikmah kebijaksanaan yang diatur UUD45 Asli yang disusun pendiri negara? Silakan direnungkan!
Mari kita belajar memilih pemimpin dengan perwakilan/musyawarah mufakat ala Muhammdiyah misalnya. Saya ambil data pemilihan tahun 2015 yang lalu.
Begini tata cara pemilihan ketum di salah satu ormas terbesar Indonesia ini.
Panitia pemilihan menyebar formulir ke sejumlah tokoh Muhammadiyah. Formulir itu menanyakan kesediaan seorang tokoh menjadi ketum PP.
Panitia pemilihan menyebar 108 formulir. Dari jumlah tersebut, hanya ada 96 formulir yang dikembalikan oleh tokoh-tokoh yang menerima.
Dari 96 formulir yang kembali, sebanyak 83 menyatakan bersedia dan 13 calon menyatakan tidak bersedia. Ada yang bersedia satu tapi wafat.
Selanjutnya, nama-nama para tokoh yang bersedia menjadi calon ketum dibawa ke Sidang Tanwir.
204 pemilik suara di Sidang Tanwir akan menyortir nama-nama tersebut menjadi tinggal 39 calon.
Mekanismenya di Tanwir setiap orang akan memilih 39 nama dari 82. Kemudian diperingkat.
39 teratas dibawa ke Muktamar.
Di Muktamar, 2.600 pemilik suara akan memilih 13 dari 39 nama yang tersedia. Mekanismenya mirip seperti pemilihan di Sidang Tanwir, satu orang memilih 13 nama Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Nama-nama terpilih lalu diperingkat, 13 nama yang paling banyak dipilih akan menjadi Pimpinan Pusat Muhammadiyah dan bersidang untuk memutuskan ketum PP Muhammadiyah yang baru.
Dalam sidang yang 13 orang itu suara terbanyak tidak otomatis menjadi ketua. Masih dimusyawarahkan sampai terpilih ketum yang disepakati dan disahkan di Muktamar.
Pada Muktamar 2015 lahir Ketum PP Muhammadiyah DR.H.Haedar Nashir, MSi, seorang intelektual muslim yg berkarakter baik. Tidak ada kegaduhan. Tidak ada money politics. Dan memang sistem pemilihan di Muktamar Muhammadiyah sulit ditembus oleh yang berniat ingin money politics. Moral pengurus Muhammadiyah dari ranting hingga PP relatif teruji baik. Jadi jangan punya niat merusak moral mereka dengan money politics.
Lewat proses pemilihan perwakilan/musyawarah mufakat itulah lahir di Muhammadiyah tokoh-tokoh besar seperti KH AR Fahruddin, Prof DR. M. Amien Rais, Prof DR. Syafii Maarif, Prof DR Din Syamsuddin dan lain-lain.
Apakah hasil pemilihan ala UUD 45 Asli yang dipraktekkan Muhammadiyah buruk? Apakah mahal? Apakah merusak silaturrahim? Apakah ada money politics?
Jangan lupa, demokrasi itu cuma alat, bukan tujuan. Tujuan kita mencari pemimpin yang baik, jujur, peduli rakyat untuk memakmurkan dan menyejahterakan rakyat bangsa dan negaranya.
Silakan direnungkan.
Marilah kita kembali ke jatidiri bangsa kita ke semangat memilih pemimpin sesuai Sila ke 4 Pancasila, Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmah Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan Perwakilan. Suatu pesan pendiri Negara yang sangat agung nilainya.
Selamat Milad Muhammadiyah.[]