Asa Pemulung Tua Wujudkan Cita-Cita Anak
Kulitnya dimasak mentari, namun tak surutkan hati tuk terus menggapai mimpi

LAKEYBANGET.COM – Pagi itu, matahari menunjukkan keangkuhannya, meskipun baru pukul 07.00 WIB, radiasi panasnya sangat menyengat kulit. Awan bahkan nggak berani menutupi mentari, aspal menyala, bumi seperti kehabisan udara. Ruangan ber-AC paling dicari pagi itu, bahkan crew LAKEYBANGET.COM nggak ingin keluar dari mobil, pagi ini.
Berbeda sekali dengan sosok renta, namun terlihat penuh semangat yang membara yang Lakban temui di Pengasinan, Bintara, Bekasi Barat. Berjalan kaki, dengan baju lusuh, jilbab tak beraturan, sandal jepit tua yang hampir putus, ibu paruh baya ini seperti tak gentar ingin menggempur kekuatan sang mentari.
Tak terlihat botol minuman, ibu yang ternyata berumur 55 tahun ini tak mengenal dehidrasi. Bertemankan riang suara kendaraan dijalanan, ketegaran menjadi tamengnya dari mata-mata sombong penuh cemoohan. Ketika para oma dan opa sedang asik minum teh di teras rumah, sembari menikmati sarapan, wanita yang menurut Lakban nggak pernah mengenal kata tua ini, hanya meneguk kemurnian air putih dan sepiring rasa optimis akan mendapatkan rezeki hari ini.
“Semua demi cita-cita anak saya,” kata ibu tua yang berprofesi sebagai pemulung ini.
Kalimat itu yang diucapkan wanita bernama Taryati ini kepada Lakban. Di umur 55 tahun sekarang ini, Dia masih menghidupi anak semata wayangnya yang masih duduk di bangku kelas 4 SD. Karena memang, Tuhan baru mengkaruniai Taryati dan suaminya seorang anak saat dia telah berumur 42 tahun. Berbekal karung yang selalu digantung dipundaknya, berburu barang bekas menjadi kesibukannya sehari-hari.
“Semua demi cita-cita anak saya,” ujar Taryati lagi, namun kali ini sembari meneteskan air mata.
Tetesan-tetesan air ketulusan itu muncul, saat Lakban menanyakan tentang usahanya untuk memenuhi cita-cita Novi, anaknya yang sangat ingin menjadi bidan. Taryati seperti tak kuasa menahan tangisnya karena mengingat umurnya sudah 55 tahun dan suaminya yang berprofesi sebagai tukang ojek pun telah renta, yaitu 70 tahun. Taryati sangat takut dan nggak siap meninggalkan anaknya yang masih kecil.
“Sedih, kasihan sama anak saya, kalo-kalo Allah berkata lain, karena saya dan suami saya sudah tua, Novi mau dititip sama siapa?” tutur Taryati sambil menyeka air matanya yang terus saja meleleh saat membicarakan tentang anaknya.
Taryati hanya meminta agar selalu dberkan kesehatan oleh Allah, sehingga dirinya dan suami bisa mencari nafkah setiap hari tanpa hambatan. Karena, masa depan anak adalah target utama yang harus dicapai oleh mereka berdua. Maka dari itu, bermandi keringat, bunyi-bunyi tulang, sendi yang mulai nyeri tak mereka hiraukan.
Memang hidup itu nggak semudah seperti yang orang kaya pikirkan, namun juga nggak sesulit seperti yang orang miskin katakan. Namun dengan pendapatan Taryati dan suami yang hanya Rp 30 ribu satu hari mungkin butuh waktu yang panjang mengumpulkan uang untuk memenuhi cita-cita anaknya.
Namun, entah kenapa, Lakban merasa tersentak ketika Taryati mengatakan, selalu ada keyakinan yang besar bahwa mereka berdua bisa menggapai cita-cita anaknya. Kuncinya, mereka berdua tak pernah ragu untuk melangkah, meskipun panasnya mentari memasak daging mereka hingga kulit mengering, atau hujan yang kembali membuat kulit-kulit itu mengembang, namun tetap “anak kami harus bisa mendapatkan impiannya,” ujar Taryati.
Lakban mengikuti Taryati sampai dia pulang kerumah. Saat itu, taryati yang telah “senja” terlihat memandang senja penuh kesedihan. Memang sudah bisa ditebak doanya kala itu kepada Tuhan. Sembari melangkah pelan, karena kaki-kakinya telah kelu menapaki aspal Jakarta, menegadahkan tangan, meminta, khusuk, mendalam, penuh arti dan mengharukan.
“Tuhan, berilah hamba kesehatan, panjangkan umur hamba, kasihani hamba, jangan ambil hamba sebelum hamba bisa mewujudkan cita-cita anak hamba,” begitu doanya.