Yang Berbeda Pendapat, yang Anti Pancasila?

Pancasila seyogianya bukanlah alasan menggebuk pihak-pihak yang berbeda pendapat dan pemikiran.

Yang Berbeda Pendapat, yang Anti Pancasila?
Ilustrasi (Monday Review/Toni Dwi Saputra)

MONDAYREVIEW.COM – Pada masa Orde Baru terminologi anti Pancasila memiliki muatan politis. Ketika itu dalam dua kesempatan, Soeharto memberi sinyal siapa yang mengganggu saya berarti mengganggu Pancasila. Petisi 50 pun muncul sebagai reaksi dari pernyataan Soeharto tersebut. Petisi 50 ditandatangani oleh para tokoh yang memiliki integritas mumpuni. Para penandatangannya yakni Ali Sadikin, Mohammad Natsir, Nasution, Hoegeng Imam Santoso, Burhanuddin Harahap, dan sebagainya.

Personifikasi penguasa sebagai pelaksana Pancasila yang murni dan konsekuen terjadi kala itu. Sehingga pihak yang berbeda pendapat, pemikiran dengan pihak penguasa bisa jadi dilabeli anti Pancasila.

Dalam konteks Pilkada DKI Jakarta 2017 ‘yang berbeda pendapat, yang anti Pancasila’ diantaranya dikeluhkan oleh konsultan politik pasangan Anies-Sandi yakni Eep Saefulloh Fatah. Dalam acara “Indonesia Lawyers Club” yang ditayangkan di TV One pada Selasa (25/4), CEO PolMark Indonesia itu angkat bicara.

“Kalau memang Jakarta ingin dirajut kembali, mari kita perbaiki cara berpikir kita. Saat ini ada pengandaian yang tidak tepat dan tidak cocok untuk kebutuhan rekonsiliasi. Seolah-olah mereka yang memilih pasangan tertentu adalah Pro Pancasila, Pro Kebhinnekaan dan toleran. Sedang mereka yang memilih pasangan lain anti Pancasila, intoleran, dan anti Kebhinnekaan,” kata Eep.

“Sudah. Jangan kembali ke masa itu. Jangan lagi ada orang yang berpikir bahwa kalau melawan pak Basuki berarti melawan Pancasila,” imbuh Eep Saefulloh Fatah.

Dalam konteks nasional, Presiden Joko Widodo juga hendaknya tidak mengulang kesalahan dari Soeharto. Benarkah Pancasila sedang digoyang? Benarkah intoleran, anti Kebhinnekaan tengah terjadi di negeri ini? Semoga Jokowi tidak menduplikasi apa yang dilakukan Soeharto bahwasanya Pancasila digunakan sebagai alasan menggebuk pihak-pihak yang berbeda pendapat dan pemikiran.