Umat Islam, Proklamasi Kemerdekaan, Ramadhan
17 Agustus 1945 bertepatan dengan 9 Ramadhan 1364 H.

MONDAYREVIEW.COM – Umat Islam di seluruh dunia tengah menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadhan 1438 Hijriah. Bagi umat Islam Indonesia, Ramadhan tahun ini bisa menjadi refleksi, evaluasi, sekaligus ekspektasi untuk menjalani kehidupan kekinian dan menghadapi era-era mendatang.
Terlebih ketika kata ‘Islam’ dilekatkan dengan teror. Dalam skala global ada ISIS yang mengatasnamakan Islam akan laku destruktifnya. Dalam skala nasional, gerakan pendukung ISIS juga dipercaya menghadirkan teror yang merugikan bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Perilaku teror, kekerasan yang dilakukan ISIS jelas sebenarnya tak sesuai dengan tuntunan ajaran Islam. Bukanlah cara Islam menghadirkan kekerasan tak berdasar, bom sana-sini, dalam menegakkan ajaran agamanya.
Namun, framing dan persepsi terhadap ISIS bisa dengan keliru dilekatkan kepada Islam dan umat Islam. Dengan demikian Islamophobia bisa semakin meluas dikarenakan tindak tanduk ISIS yang keluar dari ajaran agama Islam. Bagi pemeluk agama Islam, juga bisa timbul kenyinyiran tertentu terhadap agama yang dianutnya.
Umat Islam jelas harus menghadirkan perilaku rahmatan lil alamin serta berusaha meng-counter isu bahwa Islam = teroris. Tunjukkan perilaku Islami dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian selain lewat perkataan, teladan lewat perilaku bisa lebih membekas dan nyata manfaatnya.
Politik Aliran yang Dipertanyakan
Umat Islam di bulan Ramadhan ini juga bisa menengok ranah politik. Bagaimana misalnya pada Pilkada DKI Jakarta muncul persepsi bahwa umat Islam tidak toleran, politik aliran dipertanyakan. Jangan-jangan benar apa yang dinyatakan oleh tokoh Masyumi, pengusung Mosi Integral, Mohammad Natsir bahwa “Islam beribadah, dibiarkan. Islam berekonomi, akan diawasi. Islam berpolitik, akan dicabut sampai ke akar-akarnya.”
Memilih dengan melibatkan matriks dasar agama sesungguhnya merupakan pengamalan dari sila pertama Pancasila yakni Ketuhanan Yang Maha Esa. Ada pun politik aliran, seperti misalnya politik Islam sesungguhnya sejauh ini menunjukkan Islam yang khas Indonesia dan bercorak nasionalis religius. Politik Islam bergerak dalam koridor hukum dan berupaya mendatangkan kemanfaatan bagi Indonesia secara keseluruhan. Contoh nyatanya dapat dilihat melalui Dewan Konstituante dimana politik Islam berusaha memperjuangkan kepentingannya dalam tahap legal-formal. Contoh nyata lainnya yakni kesediaan para tokoh muslim yakni Hatta, Wahid Hasyim, Ki Bagoes Hadikoesoemo, Kasman Singodimedjo, dan Teuku Hasan untuk mencoret tujuh kata dan menjadikan sila pertama Pancasila yakni “Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Saya Muslim, Saya Pancasilais!
Umat Islam Indonesia di bulan Ramadhan ini juga dapat memaknai bahwa menjadi muslim dan Pancasila bukanlah oksimoron. Muslim dan Pancasila merupakan kesatuan yang utuh dalam pribadi. Ki Bagoes Hadikoesoemo yang merupakan tokoh penting Muhammadiyah menyatakan bahwa istilah “Ketuhanan Yang Maha Esa” berarti tauhid.
Ada pun sila-sila Pancasila jika dimaknai sesungguhnya sesuai dengan ajaran Islam. Maka tepatlah jika dinyatakan “Saya Muslim, Saya Pancasilais!”
Proklamasi kemerdekaan di bulan Ramadhan
17 Agustus 1945 bertepatan dengan 9 Ramadhan 1364 H. Maka ada nuansa religius sejak semula Indonesia dinyatakan merdeka. Dalam konstitusi UUD 1945 juga diungkap dengan bersahaja:
“Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya”
Mantan Ketua MPR Hidayat Nur Wahid dalam perayaan proklamasi pada 9 Ramadhan 1438 H menyatakan bahwa umat Islam sangat nasionalis
"Dengan PKS menyelenggarakan tasyakuran ini jangan diplesetin, tapi kita juga merayakan pada tanggal 17 Agustus. Jadi PKS dua kali merayakannya, ini menjadi dobel dan dapat diartikan kita sangat cinta Indonesia,.
Tentu saja ke nikmat syukur proklamasi bukan saja milik PKS, tapi umat Islam Indonesia secara keseluruhan. Maka tonggak 9 Ramadhan bisa menjadi momentum bersama umat Islam Indonesia untuk melihat masa lalu, bertindak di masa sekarang, dan memformat masa depan demi kemanfaatan bagi negeri ini.